Jumat, 12 Maret 2010

PERANAN (K3) DI RUMAH SAKIT / INSTANSI KESEHATAN

PERANAN (K3) DI RUMAH SAKIT / INSTANSI KESEHATAN

Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.

Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.

Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya.

Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan hidupnya. Dalam bekerja Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan karena seseorang yang mengalami sakit atau kecelakaan dalam bekerja akan berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya. Salah satu komponen yang dapat meminimalisir Kecelakaan dalam kerja adalah tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan mempunyai kemampuan untuk menangani korban dalam kecelakaan kerja dan dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk menyadari pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Kesehatan, Pasal 23 dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang. Jika memperhatikan isi dari pasal di atas maka jelaslah bahwa Rumah Sakit (RS) termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di RS, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung RS. Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola RS menerapkan upaya-upaya K3 di RS.

Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi bahaya-bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut di atas, jelas mengancam jiwa dan kehidupan bagi para karyawan di RS, para pasien maupun para pengunjung yang ada di lingkungan RS.

Dalam pekerjaan sehari-hari petugas keshatan selalu dihadapkan pada bahaya-bahaya tertentu, misalnya bahaya infeksius, reagensia yang toksik , peralatan listrik maupun peralatan kesehatan. Secara garis besar bahaya yang dihadapi dalam rumah sakit atau instansi kesehatan dapat digolongkan dalam :

1. Bahaya kebakaran dan ledakan dari zat/bahan yang mudah terbakar atau meledak (obat– obatan).

2. Bahan beracun, korosif dan kaustik .

3. Bahaya radiasi .

4. Luka bakar .

5. Syok akibat aliran listrik .

6. Luka sayat akibat alat gelas yang pecah dan benda tajam .

7. Bahaya infeksi dari kuman, virus atau parasit. Pada umumnya bahaya tersebut dapat dihindari dengan usaha-usaha pengamanan, antara lain dengan penjelasan, peraturan serta penerapan disiplin kerja. Pada kesempatan ini akan dikemukakan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit / instansi kesehatan.

Hasil laporan National Safety Council (NSC) tahun 2008 menunjukkan bahwa terjadinya kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja di industri lain. Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit pinggang, tergores/terpotong, luka bakar, dan penyakit infeksi dan lain-lain. Sejumlah kasus dilaporkan mendapatkan kompensasi pada pekerja RS, yaitu sprains, strains : 52%;contussion, crushing, bruising : 11%; cuts, laceration, punctures: 10.8%; fractures: 5.6%; multiple injuries: 2.1%; thermal burns: 2%; scratches, abrasions: 1.9%; infections: 1.3%; dermatitis: 1.2%; dan lain-lain: 12.4% (US Department of Laboratorium, Bureau of Laboratorium Statistics, 1983).

Laporan lainnya yakni di Israel, angka prevalensi cedera punggung tertinggi pada perawat (16.8%) dibandingkan pekerja sektor industri lain. Di Australia, diantara 813 perawat, 87% pernah low back pain, prevalensi 42% dan di AS, insiden cedera musculoskeletal 4.62/100 perawat per tahun. Cedera punggung menghabiskan biaya kompensasi terbesar, yaitu lebih dari 1 milliar $ per tahun. Khusus di Indonesia, data penelitian sehubungan dengan bahaya-bahaya di RS belum tergambar dengan jelas, namun diyakini bahwa banyak keluhan-keluhan dari para petugas di RS, sehubungan dengan bahaya-bahaya yang ada di RS.

Selain itu, tercatat bahwa terdapat beberapa kasus penyakit kronis yang diderita petugas RS, yakni hipertensi, varises, anemia (kebanyakan wanita), penyakit ginjal dan saluran kemih (69% wanita), dermatitis dan urtikaria (57% wanita) serta nyeri tulang belakang dan pergeseran diskus intervertebrae.

Ditambahkan juga bahwa terdapat beberapa kasus penyakit akut yang diderita petugas RS lebih besar 1.5 kali dari petugas atau pekerja lain, yaitu penyakit infeksi dan parasit, saluran pernafasan, saluran cerna dan keluhan lain, seperti sakit telinga, sakit kepala, gangguan saluran kemih, masalah kelahiran anak, gangguan pada saat kehamilan, penyakit kulit dan sistem otot dan tulang rangka.

Dari berbagai potensi bahaya tersebut, maka perlu upaya untuk mengendalikan, meminimalisasi dan bila mungkin meniadakannya, oleh karena itu K3 RS perlu dikelola dengan baik. Agar penyelenggaraan K3 RS lebih efektif, efisien dan terpadu, diperlukan sebuah pedoman manajemen K3 di RS, baik bagi pengelola maupun karyawan RS.

MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN

Manajemen adalah pencapaian tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya, dengan mempergunakan bantuan orang lain. Hal tersebut diharapkan dapat mengurangi dampak kelalaian atau kesalahan ( malprektek) serta mengurangi penyebaran langsung dampak dari kesalahan kerja.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dimembagi kegiatan atau fungsi manajemen tesebut menjadi :

A. /Planning /(perencanaan)

B. /Organizing/ (organisasi)

C. /Actuating /(pelaksanaan)

D. /Controlling /(pengawasan)


  1. Planning/ (Perencanaan)

Fungsi perencanaan adalah suatu usaha menentukan kegiatan yang akan dilakukan di masa mendatang guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini adalah keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit dan instansi kesehatan.perencanaan ini dilakukan untuk memenuhi standarisasi kesehatan pacsa perawatan dan merawat ( hubungan timbal balik pasien – perawat / dokter, serta masyarakat umum lainnya ). Dalam perencanaan tersebut, kegiatan yang ditentukan meliputi :

a. Hal apa yang dikerjakan

b. Bagaiman cara mengerjakannya

c. Mengapa mengerjakan

d. Siapa yang mengerjakan

e. Kapan harus dikerjakan

f. Dimana kegiatan itu harus dikerjakan

g. hubungan timbal balik ( sebab akibat)

Kegiatan kesehatan ( rumah sakit / instansi kesehatan ) sekarang tidak lagi hanya di bidang pelayanan, tetapi sudah mencakup kegiatan-kegiatan di bidang pendidikan dan penelitian, juga metode-metode yang dipakai makin banyak ragamnya. Semuanya menyebabkan risiko bahaya yang dapat terjadi dalam ( rumah sakit / instansi kesehatan ) makin besar. Oleh karena itu usaha-usaha pengamanan kerja di rumah sakit / instansi kesehatan harus ditangani secara serius oleh organisasi keselamatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan.

B. Organizing/ (Organisasi)

Organisasi keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan dapat dibentuk dalam beberapa jenjang, mulai dari tingkat rumah sakit / instansi kesehatan daerah (wilayah) sampai ke tingkat pusat atau nasional. Keterlibatan pemerintah dalam organisasi ini baik secara langsung atau tidak langsung sangat diperlukan. Pemerintah dapat menempatkan pejabat yang terkait dalam organisasi ini di tingkat pusat (nasional) dan tingkat daerah (wilayah), di samping memberlakukan Undang-Undang Keselamatan Kerja. Di tingkat daerah (wilayah) dan tingkat pusat (nasional) perlu dibentuk Komisi Keamanan Kerja rumah sakit / instansi yang tugas dan wewenangnya dapat berupa :

1. Menyusun garis besar pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi kesehatan .

2. Memberikan bimbingan, penyuluhan, pelatihan pelaksana- an keamanan kerja rumah sakit / instansi kesehatan .

3. Memantau pelaksanaan pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi kesehatan .

4. Memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan penerbitan izin rumah sakit / instansi kesehatan.

5. mengatasi dan mencegah meluasnya bahaya yang timbul dari suatu rumah sakit / instansi kesehatan.

6. Dan lain-lain.

Perlu juga dipikirkan kedudukan dan peran organisasi /Cermin Dunia Kedokteran No. 154, 2007 5/ background image Manajemen keselamatan kerja profesi (PDS-Patklin) ataupun organisasi seminat (Patelki, HKKI) dalam kiprah organisasi keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan ini. Anggota organisasi profesi atau seminat yang terkait dengan kegiatan rumah sakit / instansi kesehatan dapat diangkat menjadi anggota komisi di tingkat daerah (wilayah) maupun tingkat pusat (nasional). Selain itu organisasi-organisasi profesi atau seminar tersebut dapat juga membentuk badan independen yang berfungsi sebagai lembaga penasehat atau Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit / Instansi Kesehatan.

  1. Actuating/ (Pelaksanaan)

Fungsi pelaksanaan atau penggerakan adalah kegiatan mendorong semangat kerja, mengerahkan aktivitas, mengkoordinasikan berbagai aktivitas yang akan menjadi aktivitas yang kompak (sinkron), sehingga semua aktivitas sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Pelaksanaan program kesehatan dan keselamatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan sasarannya ialah tempat kerja yang aman dan sehat. Untuk itu setiap individu yang bekerja maupun masyarakat dalam rumah sakit / instansi kesehatan wajib mengetahui dan memahami semua hal yang diperkirakan akan dapat menjadi sumber kecelakaan kerja dalam rumah sakit / instansi kesehatan, serta memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk melaksanakan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan kerja tersebut. Kemudian mematuhi berbagai peraturan atau ketentuan dalam menangani berbagai spesimen reagensia dan alat-alat. Jika dalam pelaksanaan fungsi penggerakan ini timbul permasalahan, keragu-raguan atau pertentangan, maka menjadi tugas semua untuk mengambil keputusan penyelesaiannya.

  1. Controlling/ (Pengawasan)

Fungsi pengawasan adalah aktivitas yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang dikehendaki. Untuk dapat menjalankan pengawasan, perlu diperhatikan 2 prinsip pokok, yaitu :

a. Adanya rencana

b. Adanya instruksi-instruksi dan pemberian wewenang kepada bawahan.

Dalam fungsi pengawasan tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi tentang perlunya disiplin, mematuhi segala peraturan demi keselamatan kerja bersama di rumah sakit / instansi kesehatan. Sosialisasi perlu dilakukan terus menerus, karena usaha pencegahan bahaya yang bagaimanapun baiknya akan sia-sia bila peraturan diabaikan. Dalam rumah sakit / instansi kesehatan perlu dibentuk pengawasan rumah sakit / instansi kesehatan yang tugasnya antara lain :

1. Memantau dan mengarahkan secara berkala praktek- praktek rumah sakit / instansi kesehatan yang baik, benar dan aman.

2. Memastikan semua petugas rumah sakit / instansi kesehatan memahami cara- cara menghindari risiko bahaya dalam rumah sakit / instansi kesehatan.

3. Melakukan penyelidikan / pengusutan segala peristiwa berbahaya atau kecelakaan.

4. mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan tentang keamanan kerja rumah sakit / instansi kesehatan .

5. Melakukan tindakan darurat untuk mengatasi peristiwa berbahaya dan mencegah meluasnya bahaya tersebut.

6. Dan lain-lain.

Penegakan Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumahsakit (K3RS) dan Peran Dinas Kesehatan

  1. Peraturan Kesehatan Kerja

UU Kesehatan Nomor 23 tahun 2002 pasal 23 tentang kesehatan kerja menyatakan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.05/Men. 2006 juga mengatur bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 100 orang atau lebih dan atau yang mengandung potensi bahaya wajib menerapkan sistem manajemen K3 (Bab III Pasal 3).

Rumahsakit tidak terlepas dari peraturan-peraturan ini karena teknologi dan sarana kesehatan, kondisi fisik rumah sakit dapat membahayakan pasien, keluarga, serta pekerja. Jika tidak dikelola, rumahsakit tidak terhindar dari kebakaran, bencana, atau dampak buruk pada kesehatan.

Ringkasan studi tentang penerapan K3RS di bawah ini bisa dijadikan kasus bagaimana lemahnya komitmen rumahsakit dalam hal ini.

K3RS di Indonesia telah memiliki 22 peraturan. Di antara seluruh peraturan itu, paling banyak adalah peraturan menteri (9 buah) dan belum ada sama sekali peraturan daerah. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat sendiri tidak memiliki semua dokumen peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Dinas kesehatan bahkan tidak memiliki satu staf yang mengurusi bidang ini. Tidak ada tim khusus K3RS. Penjabaran dari regulasi tersebut oleh pemerintah daerah dalam bentuk peraturan daerah belum ada sama sekali. Padahal mengacu pada PP No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan propinsi sebagai otonom maka pemerintah daerah mempunyai legalitas dalam mengatur regulasi K3RS.

Kenyataan ini barang kali bisa mencerminkan keadaan sebelum desentralisasi. Daerah melaksanakan apa yang menjadi keputusan pusat dan barang kali karena keputusan pusat itu pula, regulasi K3RS ini lemah.

  1. Kesehatan dan Keselamatan Kerja sebagai Pilihan Rasional Rumahsakit

Penelitian Bambang mengukur sembilan aspek yang bisa dijadikan tolok ukur bahwa rumahsakit itu memberikan komitmen pelaksanaan K3RS. Seluruh rumahsakit menyediakan sejumlah dana untuk keperluan K3RS. Seperti terlihat dalam tabel di bawah ini, 6 dari 7 rumahsakit belum memiliki sistem keamanan dan tenaga khusus bidang K3RS. Lima rumahsakit belum memiliki sarana IPAL dan sistem pengawasan yang memadai. Selain itu, observasi di lapangan, rumahsakit-rumahsakit ini tidak memiliki sistem pelaporan tentang kecelakaan maupun penyakit akibat kerja.

Tabel 1. Komitmen rumahsakit dengan kebijakan Regulasi K3RS

No Jenis komitmen yang ditunjukkan RS1 RS2 RS3 RS4 RS5 RS6 RS7 Jumlah %
1 Dana P P P P P P P 7 100.0
2 Kebijakan P P P . . . . 3 42.9
3 Pengawasan P P . . . . . 2 28.6
4 Penghargaan dan Sanksi P . . . . . . 1 14.3
5 Organisasi P P P . P . . 4 57.1
6 Ketenagaan P . . . . . . 1 14.3
7 Pengadaan APD P P P P P P P 7 100.0
8 Pengadan IPAL P P . . . . . 2 28.6
9 Membangun sistim keamanan P . . . . . . 1 14.3
. JUMLAH 9 6 4 2 3 2 2 . .
. PERSENTASE (%) 100 67 44 22 33 22 22 44,4 .

Tabel 2. Tahun Penerbitan, Isi Regulasi dan Bentuk Regulasi K3RS

TAHUN REGULASI Jenis
1970 Keselamatan Kerja Undang-undang
1975 Keselamatan kerja terhadap radiasi Peraturan Pemerintah
1975 Izin pemakaian zat radioaktif Peraturan Pemerintah
1980 Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam penyelenggaraan K3 Peraturan Menteri
1980 Syarat-syarat pemasangan dan pemeliharaan alat pemadam api ringan Peraturan Menteri
1981 Kewajiban melapor penyakit akibat kerja Peraturan Menteri
1983 Pelayanan kesehatan tenaga kerja Peraturan Menteri
1989 Ketentuan KK terhadap radiasi Keputusan Dirjen
1992 Kesehatan Undang-undang
1992 Persyaratan Kesling RS Peraturan Menteri
1993 Penyakit yang timbul karena hubungan kerja Keputusan Presiden
1993 Komite K3 Keputusan Menteri
1993
  • Persyaratan kesehatan lingkungan ruang & Bangunan serta fasilitas sanitasi rumah sakit
  • Persyaratan kesehatan konstruksi ruang di rumah sakit.
  • Persyaratan & petunjuk teknis tata cara penye hatan lingkungan RS
Keputusan Dirjen
1996 Sistem Manajemen K3 (SMK3) Peraturan Menteri
1996 Pengamanan bahan berbahaya bagi Kesehatan Peraturan Menteri
1997 Pelaksanaan Audit system manajemen K3 Peraturan Menteri
1997 Penyelenggaraan pelayanan radiology Peraturan Menteri
1997 Pembentukan Panitia K3 Rumah Sakit Surat Edaran
1997 Inspeksi K3 Keputusan Menteri
1998 Persyaratan kesling kerja Keputusan Menteri
1999 Perubahan PP18 /1999 terhadap pemgelolaan limbah B3 PP
2003 Komite Kesehatan dan Keselamatan Kerja Keputusan Menteri


Tekait dengan peran regulasi dinas kesehatan, standar K3RS bisa dijadikan sebagai persyaratan pendirian atau operasi rumahsakit.

Pelaksanaan K3RS pada masa yang lalu ditekankan dengan pola pembinaan dinas kesehatan.

Kebijakan kita selama ini dalam bidang kesehatan dan keselamatan kerja adalah berupa sosialisasi program, pelatihan tentang K3RS, menyediakan tenaga khusus, dan membuat pedoman pelaksanaan.

Cara-cara pembinaan seperti itu memperlihatkan hasil yang minimal. Satu rumahsakit dalam penelitian ini, kebetulan swasta, bisa menjadi contoh karena mereka telah secara sadar menerapkan standar lebih internasional. Rumahsakit swasta yang berorientasi internasional menganggap K3RS adalah strategis bagi pelanggan yang sudah makin kritis. Sifat kesukarelaan seperti ini bagi rumahsakit pemerintah dan swasta lokal bisa berakibat buruk. Pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan mau tidak mau perlu membuat tekanan dari luar agar kesehatan dan keselamatan kerja betul-betul terjaga.

Pemerintah daerah hendaknya lebih peduli dengan K3RS, dengan membuat peraturan daerah khusus yang diberlakukan di daerahnya. Dinas kesehatan bisa mengawasi pelaksanaan K3RS, diikuti dengan tindakan sanksi bagi yang tidak menerapkannya. Lebih tegas, perlindungan publik dan pekerja seperti ini harus menjadi persyaratan mutlak dalam pemberian izin pendirian suatu rumahsakit.


KESIMPULAN :

Proses manajemen keselamatan dan kesehatan kerja laboratorium seperti proses manajemen umumnya adalah penerapan berbagai fungsi manajemen, yaitu perencanaan, organisasi, pelaksanaan dan pengawasan. Fungsi perencanaan meliputi perkiraan / peramalan, dilanjutkan dengan penetapan tujuan dan sasaran yang akan dicapai, menganalisa data, fakta dan informasi, merumuskan masalah serta menyusun program. Fungsi berikutnya adalah fungsi pelaksanaan yang mencakup pengorganisasian penempatan staf, pendanaan serta implemen- tasi program. Fungsi terakhir ialah fungsi pengawasan yang meliputi penataan dan evaluasi hasil kegiatan serta pengendalian.


Walaupun secara teoritis perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dipisah-pisahkan, tetapi sebenarnya ketiga hal tersebut merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan saling terkait. Keputusan Analisis Dari siklus seperti tampak dalam diagram, kelihatan suatu proses manajemen merupakan siklus yang berkelanjutan. Bila menemui permasalahan, maka manajer yang bersangkutan akan menganalisis untuk mencari penyebab dan mencari cara pemecahan yang tepat. Kemudian dia membuat keputusan pemecahan permasalahan untuk dilaksanakan. Selanjutnya dilakukan pemantauan dan evaluasi hasil yang dicapai. Hasil evaluasi ini dibandingkan dengan perencanaan. Kalau ada penyimpangan, maka dilakukan perbaikan seperlunya.


SARAN :

Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) khususnya di Indonesia secara umum diperkirakan termasuk rendah. Pada tahun 2008 Indonesia menempati posisi yang buruk jauh di bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Kondisi tersebut mencerminkan kesiapan daya saing pelayanan dan kualitas saranan kesehatan Indonesia di dunia internasional masih sangat rendah. Indonesia akan sulit menghadapi persaingan global karena mengalami ketidakefisienan pemanfaatan tenaga kerja (produktivitas kerja yang rendah). Padahal kemajuan pelayanan tersebut sangat ditentukan peranan mutu tenaga kerjanya. Karena itu disamping perhatian instansi itu sendiri, pemerintah juga perlu memfasilitasi dengan peraturan atau aturan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Nuansanya harus bersifat manusiawi atau bermartabat.
Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah dan bisnis sejak lama. Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan kinerja karyawan dan pada gilirannya pada kinerja pelayanan kesehatan. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.



11 komentar:

  1. terima kasih,infox..

    BalasHapus
  2. Terima kasih banyak infonya, sangat menambah wawasan saya tentang K3 di RS, ditunggu tulisan lainnya ya..

    BalasHapus
  3. Terima kasih ats infonya.. Kbetulan sdg blajar aplikasi k3 di RS nih.. Sgt membantu..

    BalasHapus
  4. Terima kasih banyak< sangat bermanfaat, kebetulan mau mengikuti pelatihan K3 di RS.

    BalasHapus
  5. Thanks, bermanfaat :)

    BalasHapus
  6. gan, mnta script happy aquariumnya donk

    BalasHapus
  7. infonya menambah wawasan,,, good

    BalasHapus
  8. Terima kasih Infonya,,, izin untuk di sharing ke teman teman perawat

    BalasHapus
  9. terimakasih untuk info K3 yang telah diberikan, dengan membaca ini saya merasa sangat diberikan informasi
    www.sepatusafetyonline.com

    BalasHapus